POLITIK PRAGMATIS DI KOTA BEKASI: DINAMIKA HISTORIS, PERGESERAN IDEOLOGI, DAN PATOLOGI KEKUASAAN

fenomena pragmatisme politik di Kota Bekasi, sebuah wilayah urban penyangga ibu kota yang mengalami dinamika kekuasaan yang kompleks dari era Orba

Abstrak

Studi ini mengeksplorasi fenomena pragmatisme politik di Kota Bekasi, sebuah wilayah urban penyangga ibu kota yang mengalami dinamika kekuasaan yang kompleks dari era Orde Baru hingga pasca-reformasi. Penelitian ini bertujuan untuk membedah sejarah dominasi partai politik, pergeseran spektrum ideologi, serta implikasi etis dari koalisi transaksional yang terbangun. Melalui pendekatan historis-deskriptif, artikel ini menganalisis transisi dari hegemoni Golkar menuju lanskap multipartai yang cair, serta menyoroti kegagalan sistemik yang bermanifestasi dalam kasus korupsi kepala daerah. Temuan studi diformulasikan ke dalam kerangka teoritis "Pragmatis Oportunis-Koruptif" (Opportunistic-Corruption Pragmatism), yang mendalilkan bahwa lunturnya batasan ideologis demi aliansi taktis berkorelasi positif dengan degradasi integritas publik.

Kata Kunci: Politik Lokal, Pragmatisme Politik, Kota Bekasi, Korupsi Kepala Daerah, Dinamika Partai.


1. Pendahuluan

Kota Bekasi, dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa, bukan sekadar wilayah administratif di Jawa Barat, melainkan sebuah laboratorium politik yang merefleksikan wajah demokrasi lokal di Indonesia. Sejak era Orde Baru, lanskap politik di kota ini diwarnai oleh pragmatisme yang kental, di mana partai-partai politik cenderung memprioritaskan aliansi taktis di atas kemurnian ideologi demi mengamankan kekuasaan. Fenomena ini tidak hanya membentuk "warna" politik yang unik, tetapi juga berkontribusi pada kegagalan struktural yang serius, yakni maraknya kriminalitas di kalangan elite kekuasaan.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan tinjauan komprehensif mengenai: (1) genealogi kekuasaan partai politik sejak Pemilu 1965; (2) evolusi spektrum politik lokal dan (3) analisis kritis terhadap kegagalan pragmatisme yang tercermin dalam kasus hukum kepala daerah. Dengan menggunakan data sekunder dan pendekatan historis, tulisan ini mencoba merumuskan sebuah proposisi teoritis mengenai hubungan kausalitas antara sistem politik yang transaksional dengan penyimpangan kekuasaan.

2. Dinamika Historis Kekuasaan: Dari Hegemoni ke Fragmentasi

Sejarah politik Bekasi adalah cermin mikro dari dinamika nasional. Meskipun secara administratif Kota Bekasi baru berdiri otonom pada 1997, akar politiknya terentang jauh ke belakang. Pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru (sekitar Pemilu 1965), wilayah ini sempat menjadi basis kaum nasionalis (PNI) yang didukung oleh kelompok buruh dan petani (Radio Republik Indonesia [RRI], 2024).

Namun, pasca-prahara 1965, lanskap politik berubah drastis. Restrukturisasi partai politik oleh rezim Orde Baru menciptakan hegemoni Golkar yang nyaris mutlak. Sepanjang periode 1971 hingga 1997, Golkar secara konsisten mendominasi perolehan suara di Bekasi dengan angka di atas 70%. Dominasi ini terlembaga melalui penunjukan wali kota administratif dari kalangan birokrat dan militer yang berafiliasi dengan Golkar, seperti H. Soedjono (1982–1988) dan Drs. Andi Sukardi (1988–1991).

Era Reformasi 1998 membuka kran demokrasi multipartai yang mengubah peta kekuatan secara signifikan. Pemilu 1999 menjadi momentum kebangkitan PDI Perjuangan yang berhasil meraih 25% kursi di DPRD, mengungguli Golkar. Namun, volatilitas pemilih terlihat jelas pada pemilu-pemilu berikutnya. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) muncul sebagai kekuatan baru pada 2009, merepresentasikan aspirasi kelas menengah Muslim urban, sementara Gerindra mulai menancapkan pengaruhnya sejak 2014 dengan narasi nasionalisme baru. Puncaknya, pada Pemilu 2024, terbentuklah polarisasi kekuatan yang didominasi oleh koalisi besar yang sangat cair, menegaskan bahwa loyalitas pemilih di Bekasi kini lebih ditentukan oleh figur dan mesin partai daripada fanatisme ideologis semata.



3. Evolusi Spektrum Politik: Pudarnya Batas Ideologi

Pergeseran warna politik di Bekasi menunjukkan evolusi yang menarik dari pola "nasionalis-korporatis" ala Orde Baru menuju pola "populis-religius" di era reformasi. Golkar masih mempertahankan basis tradisionalnya yang pragmatis, sementara PKS berhasil mengkonsolidasikan kekuatan di segmen pemilih terdidik dan agamis. Di sisi lain, PDI Perjuangan dan Gerindra berebut ceruk pemilih nasionalis.

Akan tetapi, temuan di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan "warna" ini semakin kabur di tingkat praksis. Urbanisasi yang masif telah membentuk karakter pemilih yang rasional sekaligus transaksional; mereka lebih peduli pada realisasi infrastruktur daripada jargon politik. Hal ini memaksa partai politik untuk bersikap ultra-pragmatis. Fenomena koalisi "gemuk" yang mendukung Tri Adhianto pada Pilkada 2024 yang melibatkan partai lintas spektrum seperti PDI-P, Gerindra, PKB, hingga Perindo adalah bukti sahih bahwa dalam politik lokal Bekasi, kemenangan elektoral adalah satu-satunya ideologi yang tersisa (Pemerintah Kota Bekasi, n.d.).

4. Patologi Kekuasaan: Kegagalan Pragmatisme Politik

Sisi gelap dari pragmatisme politik ini adalah tumpulnya mekanisme kontrol internal (check and balances). Ketika koalisi dibangun atas dasar bagi-bagi kekuasaan (power-sharing) semata, fungsi pengawasan menjadi lemah. Sejarah mencatat dua preseden buruk yang mencoreng wajah demokrasi Bekasi: kasus korupsi yang menjerat Walikota Mochtar Mohamad (PDI-P) dan Rahmat Effendi (Golkar).

Mochtar Mohamad divonis bersalah pada 2012 terkait penyalahgunaan APBD dan suap, sebuah kasus yang mengungkap adanya kolusi sistematis antar-elite (Indonesia Corruption Watch [ICW], 2010). Satu dekade kemudian, Rahmat Effendi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan terkait suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan (CNN Indonesia, 2022).

Kedua kasus ini bukan anomali, melainkan simptom dari penyakit kronis dalam sistem politik yang terlalu kompromis. Pragmatisme yang berlebihan telah menciptakan "jebakan etis", di mana elite politik merasa perlu mengumpulkan logistik melalui cara-cara ilegal demi "membalas budi" kepada jaringan patronase yang mendukung mereka.

5. Diskusi Teoritis: Pragmatis Oportunis-Koruptif

Berdasarkan analisis di atas, fenomena di Kota Bekasi dapat dikonseptualisasikan melalui kerangka teori Pragmatisme Oportunis-Koruptif (POK). Teori ini mengajukan hipotesis bahwa dalam sistem multipartai yang tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang kuat, koalisi yang terlalu luas (oversized coalition) justru berkorelasi positif dengan peluang terjadinya korupsi politik.

Tiga variabel utama yang menopang teori ini adalah:

  1. Biaya Politik Tinggi: Tuntutan logistik untuk memelihara koalisi besar mendorong kepala daerah mencari rente ekonomi.

  2. Lemahnya Oposisi: Ketika hampir semua partai masuk dalam lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol legislatif menjadi mandul.

  3. Budaya Patronase: Relasi kuasa yang dibangun atas dasar transaksional melanggengkan praktik suap dan gratifikasi.

6. Kesimpulan

Politik di Kota Bekasi telah bertransformasi dari dominasi tunggal menjadi arena kontestasi yang majemuk namun rapuh. Meskipun demokrasi elektoral berjalan, substansi demokrasi yakni akuntabilitas dan integritas sering kali tergadaikan oleh pragmatisme politik. Teori Pragmatisme Oportunis-Koruptif menawarkan lensa untuk memahami mengapa pergantian pemimpin tidak serta-merta menghentikan praktik korupsi. Reformasi ke depan tidak cukup hanya pada prosedur pemilu, tetapi harus menyentuh pembenahan institusi partai politik dan penguatan pengawasan eksternal guna memutus mata rantai oligarki lokal.


Daftar Pustaka

CNN Indonesia. (2022, 6 Januari). Deret Bupati dan Wali Kota Bekasi tersandung kasus korupsi. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220105202233-12-743091/deret-bupati-dan-wali-kota-bekasi-tersandung-kasus-korupsi

Indonesia Corruption Watch. (2010, 14 Desember). KPK tahan Wali Kota Bekasi. https://www.antikorupsi.org/id/article/kpk-tahan-wali-kota-bekasi

Novrial, R. (2024). Strategi komunikasi politik digital Tri Adhianto dalam membangun citra diri. Jurnal Ilmiah Manajemen Informatika dan Komputer, 5(2). https://journal.stmiki.ac.id/index.php/jimik/article/download/1294/933/

Pemerintah Kota Bekasi. (n.d.). Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi dari masa ke masa. Diakses pada 18 Desember 2025, dari https://bekasikota.go.id/pages/wali-kota-dan-wakil-wali-kota-bekasi-dari-masa-ke-masa

Radio Republik Indonesia. (2024, 24 September). Sejarah pemilu Indonesia: Demokrasi dan perubahan politik bangsa. https://rri.co.id/pemilu/995527/sejarah-pemilu-indonesia-demokrasi-dan-perubahan-politik-bangsa

Wikipedia contributors. (2025, 12 Oktober). Daftar Wali Kota Bekasi. Wikipedia, The Free Encyclopedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Wali_Kota_Bekasi