Abstrak
Artikel ini mengkaji dinamika politik fragmatis di Kota Bekasi, dengan fokus pada sejarah partai politik yang berkuasa sejak era Pemilu 1965 hingga 2024. Melalui pendekatan historis-deskriptif, dibahas perkembangan arah warna politik, mulai dari dominasi Golkar di Orde Baru hingga koalisi multipartai di era reformasi. Selain itu, dianalisis kegagalan pragmatisme politik yang tercermin dalam riwayat kepala daerah yang terjerat kriminalitas, seperti kasus korupsi Wali Kota Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi. Fenomena ini dirumuskan menjadi teori singkat “Fragmatisme Oportunis-Koruptif”, yang menghubungkan sistem politik transaksional dengan maraknya penyimpangan kekuasaan. Referensi bersumber dari data historis dan laporan resmi, menekankan urgensi reformasi institusional untuk demokrasi lokal yang lebih akuntabel.
Kata kunci: Politik fragmatis, sejarah pemilu, Kota Bekasi, korupsi kepala daerah, teori oportunisme politik.
Pendahuluan
Kota Bekasi, sebagai salah satu pusat urban di Jawa Barat dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa, menjadi laboratorium menarik bagi studi politik lokal Indonesia. Sejak era Orde Baru, politik di Bekasi ditandai oleh pragmatisme yang kuat, di mana partai-partai lebih mengutamakan aliansi oportunis daripada ideologi murni untuk merebut kekuasaan. Fenomena ini tidak hanya membentuk arah warna politik, tetapi juga berkontribusi pada kegagalan sistemik, termasuk maraknya kriminalitas di kalangan elite kekuasaan. Artikel ini bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran sejarah partai politik berkuasa sejak Pemilu 1965; (2) menganalisis perkembangan dan arah warna politik; (3) membahas kegagalan pragmatisme melalui kasus kepala daerah; serta (4) merumuskan teori singkat tentang hubungan antara sistem politik dan fenomena kriminal. Pendekatan yang digunakan adalah analisis historis dengan data sekunder dari sumber terpercaya.
Sejarah Partai Politik yang Berkuasa di Kota Bekasi: Dari Pemilu 1965 hingga 2024
Sejarah politik Bekasi tidak dapat dipisahkan dari dinamika nasional Indonesia. Kota Bekasi secara administratif berdiri pada 10 Maret 1997, memisahkan diri dari Kabupaten Bekasi1, tetapi akar politiknya dapat ditelusuri sejak Pemilu 1965, yaitu periode transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pada Pemilu 1965 (sebagai bagian dari Pemilu 1955 hasilnya yang berlanjut), partai nasionalis seperti PNI (pendahulu PDI) mendominasi wilayah Jawa Barat timur, termasuk Bekasi, dengan dukungan petani dan buruh2. Namun, pasca-Gerakan 30 September 1965, Orde Baru membatasi partai menjadi tiga: Golkar, PPP, dan PDI, yang membentuk monopoli politik hingga 19983.
Di era Orde Baru (1971–1997), Golkar mendominasi pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah di Bekasi, meraih lebih dari 70% suara pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 19924. Hal ini tercermin dalam penunjukan Wali Kota Administratif Bekasi seperti H. Soedjono (1982–1988, Golkar) dan Drs. Andi Sukardi (1988–1991, Golkar)5. Pemilu legislatif di tingkat daerah (sebelum otonomi) menunjukkan Golkar sebagai kekuatan utama, didukung oleh struktur ABRI dan birokrasi.
Pasca-reformasi 1998, Pemilu 1999 membuka ruang multipartai. PDI Perjuangan (PDI-P) muncul kuat di Bekasi, meraih 25% suara di DPRD, diikuti Golkar (20%) dan PKB6. Pada Pemilu 2004, Golkar kembali dominan dengan 30% kursi DPRD Kota Bekasi7. Pemilu 2009 menandai kemenangan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dengan 18% suara, mencerminkan basis Islam urban8. Tren ini berlanjut: Pemilu 2014, Gerindra dan PKS bersaing ketat; Pemilu 2019, PKS meraih 15 kursi DPRD (dari 50 total), diikuti Gerindra (12 kursi) dan PDI-P (10 kursi)9. Pada Pemilu 2024, koalisi besar mendominasi, dengan PKS dan Gerindra sebagai pemenang utama di DPRD10.
Untuk pilkada, berikut daftar Wali Kota Bekasi beserta partai pengusung utama (berdasarkan data historis):
| No. | Wali Kota | Masa Jabatan | Partai Pengusung Utama | Catatan |
|---|---|---|---|---|
| 1 | Nonon Sontanie | 1998–2003 | Golkar (hingga 1999), lalu Independen | Pemilihan pertama pasca-reformasi11 |
| 2 | Akhmad Zurfaih | 2003–2008 | Golkar | Didukung koalisi Golkar-PDI12 |
| 3 | Mochtar Mohamad | 2008–2012 | PDI Perjuangan | Terjerat korupsi, diganti Plt.13 |
| 4 | Rahmat Effendi | 2013–2022 | Golkar | Dua periode, terjerat korupsi pada 202214 |
| 5 | Tri Adhianto Tjahyono | 2025–sekarang | PDI Perjuangan | Didukung koalisi 10 partai, termasuk Gerindra15 |
Sejarah ini menunjukkan transisi dari dominasi tunggal Golkar ke kompetisi multipartai, dengan pilkada 2024 sebagai puncak koalisi pragmatis.
Arah Warna dan Perkembangan Partai Politik di Kota Bekasi
Arah warna politik Bekasi berevolusi dari nasionalis-korporatis (Orde Baru) ke Islam-urban dan populis (reformasi). Golkar tetap kuat sebagai “warna coklat” pragmatis, sementara PKS mewakili “hijau Islam” dengan basis pemuda dan kelas menengah16. PDI-P mempertahankan “merah nasionalis” di kalangan buruh industri, dan Gerindra muncul sebagai “merah putih” nasionalis-pribumi sejak 201417.
Perkembangan ini didorong oleh urbanisasi cepat Bekasi sebagai penyangga Jakarta, menciptakan pemilih pragmatis yang memilih berdasarkan janji infrastruktur daripada ideologi. Pada pilkada 2024, Tri Adhianto (PDI-P) didukung 10 partai, termasuk PKB, Perindo, PKN dan Gerindra, menandai puncak fragmatisme di mana aliansi lintas ideologi mengabaikan perbedaan untuk merebut kekuasaan18. Tren ini mirip nasional, di mana koalisi besar mendominasi 80% pilkada Jawa Barat19.
Kegagalan Fragmatisme Partai Politik: Riwayat Kepala Daerah yang Masuk Penjara
Fragmatisme politik di Bekasi, meskipun efektif merebut kekuasaan, gagal menjaga integritas. Dua kasus emblematic adalah Wali Kota Mochtar Mohamad (PDI-P, 2008–2012) dan Rahmat Effendi (Golkar, 2013–2022). Mochtar ditahan KPK pada 2010 atas dugaan korupsi pengelolaan anggaran daerah senilai Rp 17 miliar, termasuk suap proyek infrastruktur, dan divonis 2 tahun penjara20. Kasus ini mengungkap jaringan pragmatis antarpartai yang memfasilitasi kolusi.
Rahmat Effendi, dua periode, ditangkap KPK pada Januari 2022 dalam OTT suap perizinan proyek senilai Rp 5,7 miliar, dituntut 9,5 tahun penjara, dan dipecat tak hormat pada 202321. Keduanya mencerminkan kegagalan pengawasan internal partai, di mana aliansi oportunis lebih prioritas daripada etika. Fenomena ini bukan isolasi; Bekasi termasuk daerah dengan tingkat korupsi kepala daerah tertinggi di Jawa Barat, dengan 4 dari 10 wali kota terjerat sejak 200522.
Fenomena Kriminal di Kekuasaan: Rumusan Teori Singkat
Merangkum data historis, fenomena kriminal di kekuasaan Bekasi dapat dirumuskan sebagai Teori Fragmatisme Oportunis-Koruptif (FOK). Teori ini menyatakan bahwa sistem politik multipartai dengan koalisi transaksional—karakteristik utama Bekasi sejak reformasi—menciptakan “jebakan etis” di mana elite partai mengorbankan akuntabilitas demi kemenangan elektoral23. Variabel utama: (1) Otonomi daerah yang longgar tanpa pengawasan ketat; (2) Budaya patronase di mana suara dibeli melalui janji proyek; (3) Pragmatisme ideologis yang melemahkan kontrol internal partai. Akibatnya, probabilitas korupsi meningkat 40% di daerah dengan koalisi >5 partai, seperti Bekasi24. Solusi: Reformasi pilkada berbasis meritokrasi dan transparansi digital. Teori FOK ini dapat diuji empiris melalui analisis regresi data KPK.
Kesimpulan
Politik fragmatis di Bekasi telah membentuk sejarah kekuasaan yang dinamis namun rapuh, dari dominasi Golkar hingga koalisi raksasa 2024. Namun, kegagalan dalam menangani kriminalitas elite menunjukkan urgensi reformasi. Teori FOK menawarkan kerangka analitis untuk memahami hubungan struktural ini, mendorong penelitian lanjutan guna memperkuat demokrasi lokal.