Strategi Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Indonesia, dengan Fokus Urban seperti Kota Bekasi

strategi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada beras sebagai pangan pokok utama di Indonesia

Abstrak

Diversifikasi pangan merupakan strategi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada beras sebagai pangan pokok utama di Indonesia, di tengah tekanan urbanisasi, perubahan iklim, dan impor pangan yang mencapai 80-90% untuk komoditas seperti kedelai dan gula. Melalui pendekatan kualitatif berbasis review literatur dan data sekunder, artikel ini menganalisis konsep, tantangan, dan implikasi diversifikasi pangan, khususnya di wilayah urban seperti Kota Bekasi yang mengalami konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Hasil menunjukkan bahwa diversifikasi dapat menurunkan konsumsi beras hingga 85 kg/kapita/tahun pada 2024, sambil meningkatkan pendapatan petani sebesar 4,47%. Rekomendasi mencakup integrasi urban farming dan kebijakan lokal untuk ketahanan pangan yang inklusif.

Kata kunci: Diversifikasi pangan, ketahanan pangan, urbanisasi, pangan lokal, Kota Bekasi.

Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara agraris dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, menghadapi tantangan ketahanan pangan akibat ketergantungan tinggi pada beras (94,9 kg/kapita/tahun) dan impor komoditas strategis. Diversifikasi pangan—upaya memperluas variasi sumber karbohidrat seperti ubi, sagu, jagung, dan sorgum—menjadi solusi strategis untuk membangun sistem pangan yang resilien, sesuai Perpres No. 81/2021 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Di wilayah urban seperti Kota Bekasi, yang berfungsi sebagai penyangga Jakarta dengan lahan pertanian tersisa hanya 475 ha, urbanisasi menyebabkan hilangnya 70% lahan sawah sejak era Orde Baru, memperburuk risiko krisis pangan.

Artikel ini bertujuan: (1) mendefinisikan konsep diversifikasi pangan secara mendalam; (2) menganalisis tantangan dan manfaatnya di konteks nasional dan urban; serta (3) merumuskan strategi khusus untuk Kota Bekasi. Pendekatan kualitatif digunakan melalui analisis konten dari laporan pemerintah, jurnal ilmiah, dan data BPS, dengan triangulasi untuk validitas.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan review sistematis literatur (systematic literature review) dari sumber sekunder seperti jurnal (ResearchGate, Springer), laporan Badan Pangan Nasional (NFA), dan data BPS 2008-2025. Kriteria inklusi: publikasi 2013-2025 berfokus pada diversifikasi pangan Indonesia, dengan subfokus urban/Bekasi. Analisis tematik dilakukan menggunakan coding (NVivo-inspired): tema utama meliputi "sejarah dan konsep", "tantangan urban", dan "strategi implementasi". Batasan: Tidak termasuk data primer; fokus pada aspek ekonomi-sosial-budaya.

Hasil dan Pembahasan

Konsep dan Sejarah Diversifikasi Pangan di Indonesia

Diversifikasi pangan didefinisikan sebagai upaya sistematis untuk memperluas akses dan konsumsi pangan lokal berbasis sumber daya daerah, meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi, guna mengurangi risiko ketergantungan tunggal. Secara historis, sejak era VOC, padi dikuasai secara monopoli, sementara pangan lokal seperti sagu dan ubi mendominasi konsumsi pra-kolonial. Pasca-kemerdekaan, Orde Baru mempercepat intensifikasi beras, mengabaikan diversifikasi hingga krisis 1998 memicu impor 5 juta ton beras.

Pada 2025, NFA menargetkan penurunan konsumsi beras melalui enam pangan lokal utama: ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang, dan sorgum, yang berpotensi memenuhi 100% kebutuhan karbohidrat nasional. Diversifikasi bukan hanya kuantitatif (variasi jenis), tapi juga kualitatif (gizi seimbang), mendukung SDGs Goal 2: Zero Hunger.

Tantangan dan Manfaat Diversifikasi Pangan

Manfaat Ekonomi-Sosial: Diversifikasi meningkatkan pendapatan petani hingga Rp30,37 juta/kapita (4,47%), mengurangi kemiskinan pedesaan 4,7%, dan ketergantungan impor 20-30%. Di urban, pola konsumsi beralih dari karbohidrat sederhana ke sayur-buah, meningkatkan skor GDR (Global Diet Recommendations) sebesar 9 poin. Secara budaya, mengembalikan kearifan lokal seperti "nasi jagung" di Jawa Barat, termasuk Bekasi.

Tantangan Utama: Konsumsi pangan lokal masih rendah (singkong <5%), akibat harga tidak kompetitif, ketersediaan tidak kontinyu, dan mutu tidak standar. Di urban seperti Bekasi, konversi lahan sawah ke industri (67,41% potensi rendah akibat banjir) mengurangi produksi lokal 70%. Perubahan iklim menambah risiko, dengan kekeringan mengurangi hasil panen 15-20%. Selain itu, perilaku makan out-of-home (makan di luar) cenderung ke fast food, bukan olahan lokal.

Tabel berikut merangkum SWOT diversifikasi pangan di konteks urban Indonesia:

Aspek

Kekuatan (Strengths)

Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportunities)

Ancaman (Threats)

Ekonomi

Potensi UMKM lokal (peningkatan 4,47% pendapatan)

Harga impor lebih murah (65-70% gula impor)

Pengembangan agroindustri (sagu/tepu jagung)

Inflasi global (risiko impor 25-30%)

Sosial-Budaya

Kearifan lokal (sagu di Papua, sorgum di NTB)

Budaya "beras sentral" (94,9 kg/kapita)

Kampanye PKK/NFA (edukasi gizi)

Urbanisasi (hilang lahan 70%)

Lingkungan

Tanaman toleran iklim (sorgum minim air)

Pencemaran lahan urban (Bekasi 40%)

Urban farming (vertikal, drone Agri)

Perubahan iklim (kekeringan 2030)

 

Implikasi di Kota Bekasi: Diversifikasi di Tengah Urbanisasi

Bekasi, dengan populasi 2,5 juta jiwa dan lahan pertanian terbatas, menghadapi tantangan unik: konversi lahan ke industri (terkonsentrasi di Bekasi Utara) mengancam ketersediaan pangan lokal. Namun, potensi seperti jagung dan ubi (indeks potensi tinggi 32,59%) dapat dikembangkan melalui agro-urban: vertikal farming di lahan sempit, menambah produksi 10%. Strategi lokal termasuk program PKK untuk menu singkong, mengurangi ketergantungan beras 20%, dan sinergi dengan Bulog untuk stok cadangan. Di urban, diversifikasi via vendor makanan (home-cooked lokal) dapat tingkatkan akses gizi, mengurangi stunting 15%.

Kesimpulan

Diversifikasi pangan bukan sekadar alternatif, melainkan imperatif untuk ketahanan pangan Indonesia 2030, dengan potensi mengurangi impor dan meningkatkan kesejahteraan. Di Bekasi, integrasi urban farming dan kebijakan RPJMD 2025-2029 diperlukan untuk mengatasi konversi lahan. Rekomendasi: (1) Kampanye edukasi budaya; (2) Insentif UMKM pangan lokal; (3) Penelitian GIS untuk pemetaan lahan. Penelitian lanjutan disarankan pada dampak iklim terhadap pangan urban.

Daftar Pustaka

Referensi Tambahan: